WKRnews - Penelitian Komnas HAM menunjukkan pemaksaan tersulubung terhadap pemeluk agama minoritas di Indonesia terjadi puluhan tahun. Namun, menurut seorang penghayat kepercayaan, situasi yang ada relatif membaik.
Seperti dilaporkan wartawan BBC di Jakarta, Ervan Hardoko, pemetaan kebebasan beragama yang dilakukan Komnas HAM di Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah memperlihatkan pemaksaan terjadi terutama di sektor pendidikan, kesehatan, tenaga kerja dan kependudukan.
Menurut Komnas, kondisi yang menahun ini membuat suasana sudah menyatu dengan keseharian masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, Asep Puja Negara, seorang penganut (penghayat) aliran kepercayaan yang bermukim di Bandung mengatakan kepada, bahwa situasi yang dialami banyak penghayat kepercayaan sudah membaik.
Setidaknya, begitulah yang dirasakan oleh Asep setelah berlaku UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Tetapi, dia menambahkan masih saja ada sikap sejumlah aparat yang mempersulit urusan administrasi terhadap para penganut aliran kepercayaan.
Komnas HAM menemukan di sejumlah daerah di Indonesia, negara belum menjamin kebebasan setiap orang memilih dan memeluk agama. Para pemeluk agama minoritas di luar enam agama resmi yang diakui pemerintah kerap mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan layanan publik dari pemerintah.
Kondisi ini -menurut Komisioner Komnas HAM, Hesti Armiwulan- adalah akibat negara tidak menjalankan amanat konstitusi soal jaminan kebebasan beragama bagi setiap warga negara Indonesia.
"Di dalam UUD 1945, pasal 28, disebutkan bahwa negara -terutama pemerintah- bertanggungjawab untuk penghormatan, pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia," ujar Hesti.
"Maka, ketika kemudian terjadi persoalan yang tidak terselesaikan berkaitan dengan seorang yang ingin beribadah sesuai keyakinannya, itu berarti negara tidak menjalankan tugas dengan baik seperti dimandatkan oleh konstitusi."
Komnas HAM merekomendasikan sejumlah hal kepada pemerintah, antara lain jaminan tidak terjadi lagi pemaksaan terselubung dan melakukan penegakan hukum jika ditemukan kasus-kasus pemaksaan agama.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Nasaruddin Umar, sepakat pemerintah harus mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.
Menurut Nasaruddin, kebebasan beragama itu sangat relatif. Misalnya, kata Dirjen, orang Islam pun berpendapat mereka ditekan, tidak bebas, negara terlalu memanjakan minoritas, dan sebagainya.
Dia menambahkan, sebaiknya orang tidak perlu menyangka orang Islam tidak sabar.
"Memang negara harus mempertemukan, merangkul, semuanya. Jadi memang harus ada win-win solution (pemecahan yang diterima semua pihak-red)," kata Nasaruddin Umar.
"Jadi jangan minoritas puas, semua kepentingannya dipenuhi, tetapi mengorbankan mayoritas. Sebaliknya, jangan terjadi kelompok mayoritas yang terus dimenangkan."
Kembali ke pengalaman Asep Puja Negara dalam kehidupan sehari-hari, dia merasakan bahwa hambatan yang paling sering dirasakannya adalah ketika berhadapan dengan birkokrasi.
Dalam interkasi sosial, kata Asep, hampir tidak ada masalah dengan warga di sekitar. "Semuanya biasa-biasa saja, normal saja," katanya dalam wawancara dengan Asyari Usman.
Masyarakat tidak menujukkan sikap bermusuhan terhadap para penghayat aliran kepercayaan, katanya.
Misalnya dalam pengurusan KTP masih agak susah, kata Asep. Menurut UU, kolom agama di KTP seharusnya dikosongkan untuk warga penghayat kepercayaan.
"Para penghayat kepercayaan diberi formulir, dan mereka mengosongkan kolom agama. Tetapi kemudian di KTP yang tertera di kolom agama adalah salah satu agama, yang sebagian besar adalah Islam," ujar Asep.
Namun, Asep mengakui bahwa tidak semua pemohon KTP mengalami perlakuan seperti itu. Ada daerah-daerah yang mengikuti aturan, tetapi kebanyakan belum merata.
(bbc.co.uk)