MAKASSAR - Kabupaten Kutai Kertanegar (Kukar), Kalimantan Timur terkenal sebagai salah satu kabupaten terkaya di Indonesia dengan sumber daya minyak dan gas. Tapi siapa sangka daerah ini masih jauh dari sejahtera dan tak memiliki infrastruktur yang memadai.
"Jadi tidak benar kami sudah makmur dengan pendapatan dari migas. Penduduk kami masih jauh dari sejahtera, kami belum mampu membuat akses dari kecamatan-kecamatan ke ibu kota kabupaten," tegas Rita widyasari, Bupati Kutai Kertanegara saat menggelar jumpa pers di Hotel Clarion, Makassar, Jumat (7/10).
Bersama Rita, hadir pula Kepala Dinas Pertambangan Kukar, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kukar. Kehadirannya di Makassar usai mengikuti rapat kerja Forum Konsultasi Daerah penghasil Migas Se-Indonesia yang dihadiri oleh 84 daerah kabupaten kota pengahsil Migas.
Menurutnya, pendapatan daerah dari Migas hasil share dengan pemerintah pusat sebesar Rp2,2 triliun belum cukup untuk membangun daerahnya.
Dari 18 kecamatan, terdapat enam kecamatan yang tertutup dan tak memiliki akses menuju kabupaten kota. Padahal sebenarnya, hasil pengelolaan sumber daya Migas yang dieksplorasi di daerah tersebut cukup besar jika saja pemerintah pusat sedikit menberikan kebijakan untuk pembagian hasil.
"Selama ini, hasil berdasarkan peraturan pemerintah hasil Migas 70% untuk pusat dan 30% masuk ke daerah. Kalau saja itu bisa dibalik dalam jangka waktu 5 tahun saja, kami pasti bisa membangun infrastruktur di Kutai," ungkap puteri Syaukani mantan bupati Kukar ini.
Ia menambahkan, dari APBD Rp5 triliun pertahun tidak mencukupi untuk membangun jalan dan jembatan penghubung di daerah tersebut. Selain itu, di wilayah seluas 27.264 Ha ini masih terdapat 30.000 ribu jumlah penduduk miskin atau 9% dari jumlah penduduk sekitar 700 ribu orang.
Yang memprihatinkan, enam kecamatan yang terjauh tersebut hanya dapat ditempuh dengan menggunakan alat transportasi air selama dua hari dua malam. Itu pun kalau air pasang. Wilayah inilah yang berpuluh-puluh tahun terisolir dan sedang dibangun jembatan untuk menghubungkan tiga kecamatan.
"Bagaiaman mau sejahtera kalau perekeonomian mereka tidak berkembang karena keterbatasan akses. Hasil kebun yang mau dijual ke kota lebih banyak biaya transpornya. Belum lagi harga barang-barang di sana mencekik," urainya.
Dengan alasan tersebut, Rita menginginkan adanya transparansi penghitungan hasil Migas, tata batas wilayah antar kabupaten, serta kebijakan pemerintah pusat. Pasalnya, pemerintah sedikit berpihak dengan memberikan otonomi khusus layaknya seperti Aceh untuk membangun daerahnya.
"Saya tahu hasil Migas di Kukar itu juga dipakai untuk membangun daerah lain tapi bagaimana mungkin kami berpuluh-puluh tahun hanya membiayai daerah lain sementara daerah kami juga tak ada infrastruktur, hal ini bisa menimbulkan kegelisahan di masyarakat kami," pungkas Rita. [bar/inilah]
0 komentar:
Tuliskan Komentar Anda