LONDON – Pertentangan dan kontroversi seputar sunat perempuan terus muncul. Namun, warisan budaya yang sudah tumbuh mengakar di masyarakat ini tetap dilakukan, meski harus sembunyi-sembunyi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenal empat tipe sunat perempuan atau FGM. Mulai dari memotong sebagian, hingga seluruh bagian luar kelamin perempuan. Sekitar 140 juta perempuan dunia mengalami hal ini dan dua juta lainnya akan mengalami FGM.
Sebagian besar perempuan itu tinggal di 28 negara Afrika. Beberapa lainnya di Yaman, Kurdistan, AS, Arab Saudi, Australia dan Kanada. Inggris memiliki UU Larangan Sunat Perempuan sejak 1985 lalu. Kemudian UU FGM pada 2003 kembali diresmikan untuk seluruh dunia.
Jika tertangkap, pelakunya akan dihukum penjara maksimal 14 tahun. Namun hingga saat ini, tak pernah ada yang dihukum untuk kegiatan yang biasanya dilaksanakan pada libur musim panas itu. “Tak ada buktinya, sebab semua orang menutup mulut,” ujar seorang aktivis perempuan Inggris, Comfort Momoh, Sabtu (24/7) kemarin.
Seorang perempuan yang telah melalui female genital mutilation (FGM), tanpa menyebut namanya, mengaku tak tahu apa yang terjadi padanya hingga menemui ahli medis. Setelah mendapatkan pemaparan jelas, ia langsung menangis histeris. Sayangnya, tak banyak yang bisa dilakukan untuk membalikkan prosedur yang sadis itu.
“Tipe III atau yang tidak terlalu parah, mungkin bisa tertolong. Tapi untuk golongan lainnya, kami hanya bisa menawarkan konseling dan dukungan,” lanjut Momoh yang juga aktivis di klinik perempuan untuk korban FGM, di Guy's and St Thomas' Hospital, London.
Perempuan yang juga terpaksa melakukan FGM, Leyla Hussein (29), berkata konseling sangat membantunya. Ia mulai bisa memaafkan sang ibu, menyadari perempuan yang melahirkannya itu terjebak paksaan tradisi. Ia bersyukur menjadi generasi terakhir dengan derita semacam itu.
“Ketika berbulan madu, suami saya berkata takkan melakukan hal ini pada anak-anak kami. Saya terkejut dan tak bertanya lebih lanjut. Namun kini sadar, bahwa tak semua laki-laki setuju dengan FGM. Terutama ketika perempuan mengaku sangat tak menikmatinya,” papar Leyla.
Sayangnya, belum banyak perempuan seperti Leyla yang berani menentangnya secara langsung. FGM masih banyak dilakukan dan tak terbatas di Afrika saja, meski tak ada dasar agama yang mendukungnya. Meski begitu, dalam Islam memang tidak pernah ada larangan melakukannya.
Berdasarkan sabda Nabi Muhammad yang dikutip HR Abu Daud, nabi pernah memberi perintah kepada seorang tukang khitan perempuan di Madinah, Ummu Athiyyah. “Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami.”
Sunat perempuan pun cukup dengan sekadar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum. Hal tersebut juga harus dilakukan sesuai prosedur medis yang sangat memperhatikan keselamatan perempuan. Bila seorang juru khitan melakukan kesalahan, sangsi dalam Islam bisa berupa qishas, iwadh (ganti) dan diyat (tebusan).
Dalam laporan PBB, Indonesia termasuk negara yang masih mempraktikkan sunat perempuan meski ada larangannya. Sunat perempuan diasumsikan para pakar kesehatan merusak organ reproduksi sehingga perlu undang-undang untuk mengatur prakteknya.
Tetapi bagi masyarakat tradisional, praktek sunat justru untuk kesehatan. Mereka meyakini sunat perempuan menghindarkan penyakit seperti disfungsi seksual hingga pengurangan tertularnya HIV. Pertikaian ini masih menjadi perdebatan tidak hanya di kalangan ahli kesehatan, tetapi juga di antara tokoh agama dan perlu dicarikan solusinya. [habis/ast/inilah.com]
0 komentar:
Tuliskan Komentar Anda