Home » » Nigeria - Indonesia Serupa Tapi Tak Sama

Nigeria - Indonesia Serupa Tapi Tak Sama

Sabtu, 02 Oktober 2010

WKRnews - Dari udara, Jakarta terlihat sama sekali tidak asing. Saya belum pernah mengunjungi kota ini, kota yang ramai, hiruk-pikuk, dan lebih tepat disebut kacau.

Ketika ketinggian pesawat makin rendah, makin jelas bahwa Jakarta tak begitu berbeda dengan rumah saya sebelumnya, Nigeria.

"Indonesia dan Nigeria?" protes saya ketika seorang teman membandingkan dua negara ini beberapa pekan sebelumnya. Saya tak menerima perbandingan ini karena beberapa alasan.

"Mereka terpisahkan 7.000 mil. Satu di Afrika, satu lagi di Asia. Keduanya tidak bisa disamakan."

Percakapan ini terjadi pada 2003 dan saya terbang ke Indonesia dari Singapura tidak lama setelah diangkat menjadi editor Asia kantor berita AFP. Sebelumnya saya bekerja sebagai kepala biro AFP di Nigeria selama empat tahun.

Lagos, rumah lama saya, adalah kota besar di Afrika. Kota yang ramai, pusat perdagangan, dan nyaris tidak pernah tidur.

Saya melihat ke bawah melalui jendela pesawat. "Ya, Jakarta seperti Lagos," pikir saya.

Beberapa menit setelah mendarat saya ke pusat Jakarta dengan menggunakan taksi. Ketika berhenti di perempatan jalan, anak-anak langsung mengerubungi taksi, menawarkan aneka jualan. Mulai dari air mineral, makanan, hingga koran dan majalah.

Buku panduan saya menyebutkan Indonesia dan Nigeria sama-sama negara besar, dengan jumlah penduduk mencapai puluhan juta jiwa.

Keduanya sama-sama dijajah negara Eropa. Keduanya sama-sama mengantungkan pada minyak sawit dan kemudian minyak dan gas.

Ketika merdeka, standar hidup di dua negara ini nyaris sama. Setelah merdeka, Indonesia dan Nigeria juga pernah diperintah oleh rezim otoriter selama tiga dekade.

Terjadi kudeta di Indonesia pada September 1965, sementara di Nigeria kudeta terjadi pada Januari 1966.

Masih ada satu lagi kesamaan. Rezim yang lama berkuasa di Indonesia berakhir pada Mei 1998 sementara di Nigeria pada Mei 1999.

Daftar kemiripan antara Indonesia dan Nigeria makin panjang ketika saya bertemu wartawan majalah di Jakarta.

Ia mengatakan usia harapan hidup penduduk Indonesia pada 1945 adalah 45 tahun. Nigeria? Hampir sama.

Berbeda jauh

Namun sekarang kedua negara ini jauh berbeda. Usia harapan hidup di Nigeria 47 tahun sementara Indonesia 69 tahun.

Saya kaget dengan kemajuan yang dicapai Indonesia, yang mendorong saya mencermati data statistik lain.

Terungkap bahwa ketika Suharto menjadi presiden pada 1967, jumlah warga miskin di Indonesia dan Nigeria hampir sama, sekitar enam di antara 10 penduduk. Tiga dasawarsa kemudian, jumlah warga miskin di Indonesia turun dengan rasio dua di antara setiap 10 penduduk.

Di Nigeria, jumlah warga miskin malah bertambah dari enam menjadi tujuh dari 10 penduduk.

Di peringkat Indeks Pembangunan Manusia PBB, Indonesia berada 50 anak tangga di atas Nigeria.

Angka bebas buta huruf mencapai 92% di Indonesia, sementara di Nigeria 72%. Pendapatan per kapita rata-rata US$ 4.000 untuk Indonesia, atau dua kali lipat dari Nigeria.

Untuk urusan kesehatan, Indonesia juga jauh meninggalkan Nigeria. Begitu juga dengan pendidikan, ketersediaan air bersih, dan makanan sehat.

Bukan berarti tidak ada masalah serius di Indonesia. Namun di antara belitan masalah ini, dunia memuji Indonesia atas dua pemilu yang digelar tahun lalu sementara pemilu di Nigeria dianggap sebagai salah satu penyelenggaraan pemilu paling buruk di Afrika sepanjang 2007.

Jadi, mengapa Indonesia bisa menyalip Nigeria?

Jawaban yang biasanya diajukan adalah, "terlalu banyak dan sangat kompleks." Mulai dari warisan masalah dari penjajah, lemahnya rasa persatuan, hingga kutukan minyak.

Faktor-faktor ini membuat Nigeria gagal memanfaatkan potensi sebagai raksasa Afrika. Tapi bukankah Indonesia juga memiliki persoalan yang sama?

Indonesia dijajah Belanda, Nigeria dijajah Inggris. Ada ratusan suku yang berbicara dengan bahasa masing-masing di kedua negara.

Nigeria memiliki minyak, demikian juga dengan Indonesia, meski Indonesia relatif lebih baik mengatur kekayaan minyak ini.

Perjuangan

Saya mencoba mencari rahasia kesuksesan Indonesia, dengan bertanya kepada wartawan senior majalah Tempo, Bambang Harymurti. Bambang mengatakan mungkin karena Indonesia adalah bangsa pejuang.

Rezim boleh saja menumpas orang-orang yang beroposisi, tapi akan selalu muncul kelompok lain yang siap menekan penguasa, kata Bambang.

Ketika berkuasa, Suharto berhasil mengalirkan kekayaan US$ 35 miliar ke kantong pribadi dan menugaskan para pejabat untuk mengamankan kekuasaan. Namun Suharto mengkhawatirkan munculnya gerakan rakyat.

Sejarah menunjukkan Indonesia menggulirkan gerakan massal pada 1928 dan 1945. Yang pertama gagal sementara yang kedua berujung dengan proklamasi kemerdekaan.

Gerakan pada 1945-1949 membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Meski Suharto memerintah dengan tangan besi, ia tetap saja khawatir dengan gerakan rakyat.

Selama hampir empat dekade, pemerintah memastikan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah penduduk miskin.

Tentara dikerahkan ke desa-desa untuk membangun jalan dan prasarana listrik. Uang dari minyak dipakai untuk mengembangkan sektor pertanian, perikanan, turisme, dan manufaktur.

Dari negara miskin, Indonesia tumbuh menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Penduduk miskin ikut menikmati kemajuan.

(Bandingkan dengan Nigeria, yang tercatat sebagai salah satu pengekspor utama minyak sawit pada 1960-an, tapi sekarang hanya menyumbangkan 7% minyak sawit dunia.)

Memperhatikan Ekonomi

Namun di antara deretan prestasi ini, Suharto belum merasa aman. Apa yang menjadi kekhawatiran Suharto menjadi kenyataan. Krisis keuangan mendera Asia pada 1997. Rakyat yang kecewa bergerak dan turun ke jalan. Sekitar satu tahun kemudian Suharto jatuh.

Para pengganti Suharto sangat memperhatikan ekonomi. Perjuangan inilah yang absen dalam sejarah Nigeria?

Orang-orang merasakan ketidakadilan namun aksi protes biasanya hanya dihadiri oleh ratusan orang.

Para pemimpin di Nigeria sepertinya tidak pernah merasakan tekanan publik. Mereka lebih sibuk bersaing satu sama lain. Dan mereka tidak melakukan perubahan.

"Saya baru sadar bahwa perjuangan kami belum besar. Padahal bila Anda tidak memperjuangkan hak Anda, hak itu tidak pernah akan ada," kata Chukwudifu Oputa, mantan hakim agung Nigeria.

Bukan berarti warga Nigeria tidak pernah berjuang. Mereka berjuang setiap hari untuk bertahan hidup. Tapi apakah mereka mengontrol dan menekan penguasa?

Kalau mereka tidak melakukannya selama ini, mungkin itulah alasan mengapa usia harapan hidup di Indonesia mencapai 70 tahun, sementara di Nigeria hanya 47 tahun...

(bbc/Peter Cuncliffe-Jones - Wartawan majalah Focus on Africa)



Berita Terkait



0 komentar:

Tuliskan Komentar Anda

 
 

Photo Kegiatan

Demo di Kejaksaan Madiun Kota
Photo 1 Photo 2 Photo 3 Photo 4 Photo 5 Photo 6 Photo 7 Photo 8 Photo 9
Tim Pendakian Gunung WKR
Photo 1 Photo 2 Photo 3 Photo 4 Photo 5 Photo 6 Photo 7 Photo 8 Photo 9 Photo 10 Photo 11 Photo 12
Launching WKR
Photo 1 Photo 2 Photo 3 Photo 4 Photo 5 Photo 6

Gallery


 

Komentar Pembaca

Kategori

Artikel (38) Daerah (310) Ekonomi (139) Gaya Hidup (69) Hukum dan Kriminal (388) Info Hukum (42) Internasional (336) Jagat Jungkir Balik (97) Kesehatan (112) Korupsi News (132) Lokal Madiun (190) News Update (617) Olah Raga (177) Otomotif (38) Pendidikan (79) Politik (171) Selebriti (332) Serba-Serbi (208) Techno (183) Tips (36)

Followers

Disclaimer

wakoranews.blogspot.com tidak mempunyai file hosting pada server ini. Semua isi hosting ada pada situs web pihak ketiga. wakoranews.blogspot.com tidak bertanggung jawab untuk seluruh materi web pihak ketiga baik berupa gambar atau teks dan tidak memiliki keterlibatan di download / upload, kami hanya posting materi yang tersedia di internet dan juga kami tidak merubah sumber yang menerbitkannya. Apabila ada yang keberatan, kami akan menghapus posting yang menjadi claim.

=================================================

PERHATIAN : Semua gambar yang diposting di www.wakoranews.co.ccc hanyalah ILUSTRASI apabila ada yang keberatan kami akan menghapusnya. Terima kasih