JAKARTA - Keputusan Mahkamah Agung (MA) memvonis Erwin Ardana, pemimpin Majalah Playboy Indonesia dengan hukuman dua tahun penjara dinilai tidak adil. Pasalnya, majalah maupun tabloid lain dengan isi yang jauh lebih asusila dari masih beredar luas di masyarakat hingga saat ini.
"Terpampang di display lapak koran dengan gamblang. Namun, tidak satu pun dari pemimpin mereka yang dipidana," kata Todung Mulya Lubis dalam memori peninjauan kembali (PK) atas vonis MA. Memori itu dibacakan saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/10/2010).
Dikatakan Todung, Majalah Playboy Indonesia dijual dengan ekstra hati-hati seperti membungkusnya dengan plastik yang tidak transparan, menuliskan 'untuk dewasa' pada sampul, mengedarkan hanya pada toko-toko buku tertentu, hingga mematok harga jual tinggi yang sulit dijangkau anak-anak maupun remaja. Semua itu, kata dia, agar majalah itu hanya dapat diakses oleh pria dewasa.
Di sisi lain, gambar-gambar, kata-kata dalam iklan-iklan pakaian dalam, suplemen peningkat daya seksual pada majalah biasa tersebar luas dan dapat diakses anak-anak dengan mudah. "Di mana rasa keadilan dan kepastian hukum di negeri ini," katanya mempertanyakan.
Bila merujuk pada keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam persidangan, tambah Todung, gambar dan tulisan dalam Majalah Playboy Indonesia tidak bertentangan dengan norma kesusilaan bila hanya dibaca orang dewasa. "Namun melanggar bila dibaca anak-anak," kata dia.
Dalam memori setebal 30 halaman, pihak Erwin menilai ada kekhilafan dan kekeliruan oleh majelis hakim MA yang menggunakan KUHP dan tidak menggunakan UU Nomor 40/1999 tentang Pers dalam menjatuhkan putusan. Selain itu, majelis hakim tidak mempertimbangkan keterangan para saksi dari Dewan Pers.
Oleh karena itu, pihaknya memohon agar Erwin Ardana dibebaskan dari dakwaan, dan dipulihkan harkat dan martabat pemohon.(kompas)
0 komentar:
Tuliskan Komentar Anda