JAKARTA - Pernyataan Menteri Agama Suryadharma Ali tentang rencana pembubaran Ahmadiyah dan argumen yang melatarbelakanginya, dinilai sebagai bentuk provokasi atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Menurut Wakil Ketua SETARA Institue, Bonar Tigor Naipospos, pernyataan Suryadharma itu merupakan langkah mundur dan kontraproduktif atas upaya beberapa pihak terutama Presiden SBY, Pimpinan DPR RI untuk menciptakan situasi yang kondusif dan menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
"SETARA Institute mempertanyakan, apakah pernyataan tersebut merupakan kebijakan dua muka Presiden SBY, atau Menteri Agama yang tidak paham atas instruksi dan pilihan politik SBY? Menteri Agama nampaknya tidak bisa membedakan posisinya sebagai Menteri dan Ketua Umum PPP," ujarnya di Jakarta, Selasa (31/8).
Menurutnya, hal itu merupakan manuver pribadi Menag dalam upaya mendongkrak popularitas partainya. Cara yang sama juga dilakukan Suryadharma saat melakukan kampanye pada uji materil UU No.1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi.
"Pernyataan Menag dapat menyulut gelombang kekerasan pascaRamadan terhadap komunitas Ahmadiyah yang dilakukan oleh ormas-ormas anarkis. Kalau itu terjadi, Menag harus bertanggungjawab secara hukum. Untuk menghindari itu, Presiden SBY harus menyatakan secara terbuka kepada publik mengoreksi pernyataan Menag," katanya.
Sebelumnya, Menteri Agama Suryadharma Ali, meminta Ahmadiyah, masyarakat dan para penegak hukum menaati hasil surat kesepakatan bersama (SKB) tiga menteri. Menurut dia, para jamaah Ahmadiyah harus mentaati SKB tiga menteri yang menyatakan bahwa, Ahmadiyah adalah sebagai ajaran beraliran sesat. Untuk itu, disarankan agar mereka segera menghentikan kegiatan dalam mengembangkan ajarannya di Indonseia.
"Ahmadiyah itu seharusnya dibubarkan. Kalau tidak dibubarkan permasalahannya akan terus berkembang," ujar Suryadharma. [mut/inilah]
0 komentar:
Tuliskan Komentar Anda